memainkanemosi-pelanggan

Emotional Marketing: Pemasaran Melalui Media Sosial Agar Brand Lu Semakin Dicintai oleh Pelanggan

Hah? Apaan tuh emotional marketing? Gimana caranya melakukan pemasaran melalui media sosial pakai teknik ini?

Hmm, gak heran rasanya kalau lu punya pertanyaan kaya gitu saat pertama kali baca judul artikel ini.

 

Pada dasarnya, emotional marketing itu sesuatu yang mungkin udah sering lu lakukan selama ini dalam melakukan pemasaran.

Hanya saja, tanpa disadari bahwa yang lu lakukan itulah sebenarnya emotional marketing.

 

Sebelum masuk ke materi lebih dalam, coba jawab beberapa pertanyaan berikut:

#1. Kenapa banyak orang yang cinta dengan Harley Davidson? Bahkan sampai pasang tato di badannya?

#2. Atau, kenapa banyak orang yang mencintai produk Apple? Padahal mungkin fiturnya gak selengkap produk pesaing dan harganya jauh lebih mahal?

#3. Pernahkah lu liat iklan Dove yang menunjukkan bahwa kecantikan itu untuk semua orang (khususnya wanita), dengan campaingnya yang diberi nama “Real Beauty”? Menyentuh hati ya?

#4. Kapan terakhir kali lu membeli produk yang sebenarnya gak lu butuhkan, tapi lu membeli produk tersebut karena kepedulian lu terhadap orang lain dan ingin membantunya kesulitannya (charity)?

#5. Kenapa kamera GoPro itu bisa membuat (semua) orang yang punya merasa otomatis keren, seolah – olah petualang alam sejati, atau pecinta olahraga ekstrim? Padahal cuma dipakai buat selfie di taman kota, pasang muka bebek, diambil berulang – ulang karena foto sebelumnya keliatan gendut? 😆

 

Kalau lu sadari, inti dari kelima pertanyaan tersebut sepenuhnya merupakan emotional marketing.

Menurut 602communication, emotional marketing adalah kegiatan menyampaikan pesan yang membangun suatu ego.

Entah membuat penerimanya merasakan kesenangan, terlihat lebih pintar, kuat, keren, memunculkan empati, atau sebagainya.

Sederhananya, emotional marketing merupakan segala komunikasi yang melibatkan emosi pelanggan dengan menggunakan berbagai macam teknik.

Kalau gitu, pernahkah lu memasarkan suatu produk, dengan harapan pelanggan yang memakai atau membeli produk tersebut akan merasakan sesuatu dengan melibatkan emosinya?

Entah itu menimbulkan rasa takut, misalnya seperti, “Bro! Jangan sampe deh lu ketinggalan jaman cuma karena gak punya snapback keren ini!”

Atau memunculkan rasa empati seperti, “Dengan membeli produk ini, kamu udah menyalurkan bantuan yang sangat berarti untuk para korban banjir di kota A.”

Intinya, kita mencoba untuk melibatkan emosi pelanggan agar mendorong mereka untuk melakukan aksi, baik engagement di media sosial maupun pembelian.

 

Jadi, kenapa emotional marketing harus menjadi fokus utama lu dalam melakukan pemasaran?

Tanpa disadari, emosi punya peran yang cukup besar dibalik segala kegiatan yang kita buat sehari – hari.

Salah satunya, disaat lu harus bangun pagi – pagi buta tapi tetap merasa bersemangat dan bergembira. Begitu juga peran emosi dalam pemasaran.

Menurut Psychology Today, meskipun pelanggan berpikir secara rasional dan emosional, tapi dalam melakukan pembelian sebagian besar dipengaruhi oleh emosional.

Apalagi dalam menentukan brand mana yang bakal kita pilih, Apple buktinya.

Sedangkan seperti apa yang gua tulis pada artikel sebelumnya, yakni menurut IPA dataBANK, kampanye marketing yang melibatkan emosi secara utuh menghasilkan 2 kali lipat lebih baik dibanding yang melibatkan logika.

emotional-vs-rational

Emotional marketing bisa diperoleh ketika kita cenderung menggunakan strategi pemasaran ‘otak kanan’ dibanding ‘otak kiri’.

Brand yang kita miliki gak perlu sehebat Disney atau Apple terlebih dulu untuk menjadi sukses.

Bahkan produk perabotan rumah tangga pun bisa melibatkan emosi pelanggannya dan menjalin hubungan yang kuat dengan mereka.

 

Eh tunggu bro, menjalin hubungan yang kuat dengan pelanggan? Buat apa?

Selain tujuan utama yakni untuk memasarkan produk atau jasa, kita juga mau menciptakan nilai bagi pelanggan (customer value).

Gunanya agar mereka gak cuma sekali beli, tapi terus berkelanjutan, bahkan rela memasang tato dengan logo suatu brand.

Menurut Harvard Business Review, pelanggan yang memiliki hubungan kuat dengan brand (fully connected) yakni 52% lebih bernilai dan berharga, dibanding pelanggan yang sangat puas berbelanja.

tahap-hubungan-emosional

Itulah kenapa tugas lu sebagai pebisnis dan marketer gak berhenti hanya sampai terjadinya pembelian.

Tapi berlanjut sampai pelanggan yang puas berbelanja melakukan pembelian lagi dan lagi.

Bahkan membawa banyak pelanggan baru dan begitu seterusnya.

 

Terus, kenapa harus pemasaran melalui media sosial?

Disamping karena media sosial adalah marketing channel yang efektif dan efisien, sesuai dengan fungsi dasar media sosial yakni menghubungkan siapapun, dimanapun dan kapanpun.

Bahkan menurut Daniel Newman, media sosial itu bukan lagi marketing channel, tapi tempat dimana pelanggan menyalurkan pengalamannya.

Kalau menurut laporan dari Deloitte, media sosial memengaruhi sebanyak 47% dari kaum milenial dalam memutuskan suatu pembelian. Sedangkan ada 19% dari generasi lainnya.

 

 

Pahami dan implementasikan 5 hal ini dulu bro!

Sebelum kita masuk lebih dalam lagi, ada baiknya lu memahami pondasi dasar ini agar hasil dari pemasaran emosional bisa bekerja secara maksimal.

#1. Ketahui dan sesuaikan dengan target audience

Seperti yang gua bilang pada banyak artikel sebelumnya. Ketika lu ingin melayani semua segmen pasar, lu berakhir dengan tidak melayani siapapun.

Justru sebaliknya, fokuslah hanya pada segmen tertentu aja.

Lebih baik lagi kalau kita bisa memasarkan produk sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, keinginan, gaya hidup, demografis pelanggan dan sebagainya.

Atau yang sering disebut dengan buyer persona.

Silahkan pelajari tentang buyer persona lebih jauh pada artikel ini.

 

Di sisi pelanggan, mereka menginginkan brand yang bisa merefleksikan identitas mereka.

Misalnya target audience para ibu – ibu kantoran yang sekaligus rumah tangga, dimana mereka kesulitan ketika harus memasak makanan sendiri.

Maka dari itu kita bisa melakukan pendekatan secara emosional dan memberikan solusi dari permasalahan tersebut.

Kalau udah tau gini, mungkin lu bisa melakukan pendekatan seperti, “Bu, ibu gak perlu repot dan buang waktu untuk memasak makanan sendiri untuk keluarga. Lebih baik serahkan permasalahan ini sama perusahaan kami. Keuntungannya yang ibu dapatkan adalah bla bla bla.”

Enaknya, dengan sosial media lu bisa memasarkan sesuai target audience yang udah dibuat sebelumnya dengan mudah dan akurat.

 

#2. Hindari pemasaran yang bikin pelanggan mikir keras

Kita mau ‘memainkan’ emosi mereka, bukan mengajak mereka untuk memahami mesin mobil BMW secara teknis, atau belajar algoritma Facebook.

Itulah kenapa banyak iklan asuransi di TV dan Youtube yang menggunakan drama bertema sedih, dibanding menjelaskan perhitungan asuransi mereka agar pelanggan mendapat keuntungan maksimal.

Begitu juga dengan bisnis lu di media sosial.

Sebarkan konten yang melibatkan emosional pelanggan, bantu mereka dalam menyelesaikan permasalahannya, berikan mereka inspirasi, bikin mereka merasakan sesuatu.

Contohnya iklan waxing dan kucing lucu ini.

somela-cat
Sumber

 

#3. Sampaikan dengan brand personality

Masih berhubungan dengan poin pertama, dimana lu menentukan target pasar tertentu.

Selain menyelesaikan kebutuhan atau keinginan dari pelanggan, lu juga harus mampu untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan ‘bahasa’ mereka.

Entah itu sopan dan ramah, profesional dan semi-formal, ceria, lucu, gaul, atau karakteristik lainnya.

Contohnya karakteristik dari brand Garuda Indonesia di Facebook yang memperlihatkan gaya elegan dan profesional.

karakteristik-garuda-indonesia

 

#4. Semuanya tentang ‘Anda’, bukan ‘Saya’

Poin ini juga udah gua jelasin sebelumnya pada artikel membuat kata – kata promosi ini.

Sederhananya, kalau lu mau melibatkan emosi pelanggan, maka fokuslah dengan konten yang menyangkut kehidupan mereka, bukan diri lu sendiri sebagai penjual.

Bahas permasalahan mereka, lalu berikan solusinya.

 

#5. Identifikasi faktor yang paling memotivasi pelanggan dalam melakukan pembelian

Atau yang disebut dengan key motivator.

Faktor apa yang membuat pelanggan lu melakukan pembelian?

Apakah karena mereka ingin terus tampil beda diantara yang lain? Ingin menjadi bagian dari suatu kelompok misalnya seperti Harley Davidson?

Ataukah menginginkan rasa aman sehingga membeli produk asuransi?

Mungkin juga mereka memiliki rasa takut kalau terjadi kejahatan dirumahnya sehingga membeli produk CCTV?

Tentunya untuk mengidentifikasi key motivator ini gak mudah.

Tapi ketika lu mampu mengetahuinya, maka lu mampu melakukan emotional marketing dengan tepat, memiliki hubungan yang kuat (fully connected) dengan pelanggan, atau meningkatkan customer lifetime values.

Sebagai contoh lu menjual produk obat herbal. Maka key motivatornya seperti mendapatkan kebebasan dari penyakit yang dideritanya.

Rasa takut jika mereka menderita suatu penyakit, atau mungkin mau mewujudkan suatu keinginan seperti postur tubuh yang ideal.

Sekali lagi, key motivator ini adalah modal awal yang sesungguhnya dari emotional marketing.

Kalau lu ada kebingungan dalam menentukan key motivator, gua menerima diskusi (klik disini). Siapa tau gua bisa membantu, hehe. 😀

 

Gunakan 4 emosi dasar ini dalam emotional marketing:

Di bagian ini lu akan mengetahui emosi apa yang tepat digunakan saat melakukan pemasaran di media sosial.

Menurut penelitian, terdapat 4 emosi dasar manusia, yakni senang, sedih, takut/terkejut, dan marah/kesal.

1. Siapapun mau merasakan kesenangan

Betul begitu?

Kalau berdasarkan penelitian New York Times sih bilang kaya gitu. Orang – orang lebih memilih konten yang bisa membawa perasaan senang dan positif, dibanding yang negatif.

Ada lagi penelitian yang dilakukan oleh Cornell University yang bekerjasama dengan Facebook.

Mereka ‘memainkan’ konten positif dan negatif di news feed penggunanya.

Dan hasilnya?

Konten yang bernuansa positif gak cuma disukai oleh 500,000 pengguna, tapi juga mereka malah ikut menyebarkan konten tersebut.

“Emosi yang positif gak hanya disukai pelanggan, tapi juga mampu menyebar lebih cepat dibanding emosi negatif.”

Ada juga bukti nyata lainnya dari Coca Cola yang melakukan kampanye yang diberi nama “Share a Coke”. Kampanye yang mempromosikan kegembiraan ini mampu meningkatkan penjualan mereka sebanyak 2.5%.

Kesimpulannya, apapun brand lu, apapun produk yang lu tawarkan, berikan konten yang bisa membawa perasaan bahagia bagi para pelanggan.

Gimana caranya bro nyebarin kebahagiaan lewat media sosial?

Seperti yang gua bilang sebelumnya, hindari mengajak pelanggan untuk mikir keras.

Gunakan sesuatu yang sederhana tapi bisa berdampak pada emosi positif yang berarti, misalnya bayi (manusia atau hewan).

Contohnya adalah iklan air mineral ini.

Disitu gak dijelasin sama sekali gimana caranya mereka bisa mendapatkan air jernih dan sehat, mesin canggih apa yang bekerja di belakangnya, atau jenis botol plastik apa yang digunakan.

Video tersebut menuai komentar – komentar kurang lebih kaya gini:

komentar-video

Sulit untuk bikin konten dalam bentuk video? Gak perlu khawatir bro…

Lu bisa bikin konten dalam bentuk kata – kata!

Konten milik akun Facebook BRODO Footwear adalah salah satunya.

kata-kata-bahagia

Bikin lawakan dari kata – kata juga masih susah? Upload GIF aja!

Sumbernya bisa lu ambil dari giphy.com

Emosi positif itu bukan cuma konten yang bisa bikin ketawa!

Mungkin dengan memperlihatkan suatu pencapaian atau keberhasilan.

Intinya kita ingin membuat pelanggan merasa terkagum – kagum.

Karena menurut penelitian yang dilakukan oleh OkDork, emosi yang paling populer adalah perasaan kagum, yakni sebanyak 25%.

Dan biasanya, konten yang bisa bikin orang terkagum itu kemungkinan besar akan menjadi viral.

Salah satu contohnya kisah inspiratif dari Herman Yudiono ini.

Atau misalnya kaya video milik Indomie yang ikut merayakan ulang tahun Kuningan ke 518.

Indomie Ultah Kuningan 518

Sekali lagi, berikan konten yang sederhana tapi mampu memberikan kebahagiaan bagi pelanggan.

 

2. Konten yang mengandung kesedihan juga bisa memberikan dampak

Setelah kita mengetahui fakta bahwa konten yang positif itu tersebar lebih cepat dan meluas, bukan berarti kita harus meninggalkan konten dengan emosi negatif (sedih).

Karena menurut Fractl, konten yang bernuansa kesedihan tetap bisa menjadi sebuah viral, hanya jika diikuti dengan sesuatu yang mengejutkan atau perasaan takjub yang kuat.

low-arousal-study

Contohnya? Kemungkinan besar lu udah pernah liat video viral ini.

 

Menurut studi yang dilakukan oleh Paul Zak, ketika kita mengalami perasaan sedih, maka akan muncul 2 hormon yang namanya Cortisol dan Oxytocin.

Hormon Cortisol akan mendorong orang – orang untuk fokus memerhatikan kisah sedih tersebut.

Sedangkan hormon Oxytocin akan meningkatkan rasa kepedulian dan mendorong mereka untuk merasakan empati.

Sederhananya, ketika lu mampu membuat pelanggan untuk mengeluarkan perasaaan sedihnya, maka hormon Oxytocin dapat berproduksi.

Dan ketika hormon tersebut muncul, maka akan membuat pelanggan lebih meningkatkan rasa kepercayaannya terhadap suatu brand.

Akhirnya, penjualan pun meningkat.

Perlu diingat nih bro, menggunakan konten yang bernuansa sedih bukan berarti kita memanfaatkan kesedihan atau derita orang lain untuk mendapatkan keuntungan ya.

Tapi kita mau mengangkat rasa kepedulian masyarakat, atau membantu meringankan derita orang tersebut.

Bonusnya? Sebut aja seperti meningkatkan brand awareness.

 

3. Perasaan takut dan terkejut

Orang yang mau melakukan belanja online aja kemungkinan akan muncul rasa takut.

Entah takut karena yang jual bakal nipu, atau produk yang dipesan gak sesuai, atau ketakutan lainnya.

Kalau udah gitu, apakah orang tersebut bakal diam aja pasrah sama apapun yang bakal terjadi?

Mungkin ya, mungkin engga.

Apalagi kalau produk yang dibeli itu punya harga tinggi, kemungkinan besar orang tersebut bakal ngilangin rasa takutnya, dengan melakukan suatu aksi (gak pasrah).

Misalnya membandingkan penjual A dengan penjual B, nanya segala macam pertanyaan, bahkan gak jarang orang yang mau berkunjung ke toko tersebut secara offline.

Dari kejadian – kejadian kaya gini aja bisa kita liat kalau rasa takut memberikan dampak yang cukup terlihat.

Yakni mendorong pelanggan untuk segera melakukan aksi. Karena pada dasarnya gak ada orang yang mau ketakutannya terjadi, bukan begitu bro?

Contoh sederhana yang sering terjadi pada kita sehari – hari adalah FOMO (Fear of Missing Out).

Perasaan gelisah yang muncul karena ketakutan akan kelewatan atau kehilangan sesuatu yang menarik.

arti-fomo

Berdasarkan studi MyLife.com, sebanyak 56% dari pengguna sosial media itu takut kalau mereka sampai kelewatan berita atau update status yang menarik.

fomo

FOMO ini adalah salah satu contoh dari rasa takut yang bisa lu manfaatkan dalam pemasaran di media sosial. Khususnya saat lu memberikan penawaran menarik yang terbatas.

 

 

Lain contohnya lagi kalau lu memberikan rasa takut yang sebenarnya kepada pelanggan.

Artinya lu menyadarkan kepada pelanggan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini kurang tepat, sehingga akhirnya bisa menyebabkan dampak buruk.

Sayangnya, banyak konten termasuk iklan yang memberikan rasa takut berlebih kepada pelanggannya.

Akibatnya? Mereka merasa terganggu, bukan malah meningkatkan penjualan.

Contohnya seperti iklan yang disiarkan oleh NationWide tentang keselamatan anak – anak pada acara Super Bowl.

Karena terlalu fokus dan ‘berlebihan’ dalam memberikan rasa takut, gak sedikit iklan ini menuai respon yang negatif.

nationwide-1

nationwide-2

Selain dalam bentuk video, ada juga yang menggunakan foto.

take-fear-too-far

take-fear-too-far-2

Kunci dalam memberikan konten maupun iklan yang bisa menimbulkan rasa takut adalah jujur dan gak lebay. Dalam membuat konten juga perlu menjaga etika.

Contoh yang seimbang antara menimbulkan rasa takut dengan etika yang baik seperti iklannya CCTV milik Logitech ini.

logitech-campaign

Logitech mampu memberikan ‘rasa takut’ berdasarkan kecemasan yang terjadi pada pelanggannya.

Udah gitu, dalam campaign ini Logitech juga memberikan hasil video bahwa kecemasan pelanggan tersebut mengintai dimana – mana.

busted-logitech-campaign

 

4. Marah atau kesal

Kalau di poin pertama penelitian menunjukkan kalau emosi positif lebih cepat menyebar daripada emosi negatif (termasuk sedih, takut atau marah), ya itu benar.

Tapi berbeda kalau kita berbicara tentang emosi dalam konten yang paling berpotensi menjadi viral.

Menurut Moz.com, konten yang mampu menarik emosi marah atau kesal adalah juaranya.

emotions-viral1

Ini yang harus ekstra hati – hati dalam membuat kontennya.

Percuma kalau konten yang kita buat di media sosial itu menjadi viral, tapi brand image jadi luar biasa buruk.

Nih buktinya udah pernah gua post pada artikel cara menjadi reseller sukses.

53753-jualan-galak

Mau viral mah gampang bro, maki – maki orang aja di internet, yang berhasil udah banyak kok.

Berhasil viral + brand image ambruk, ditambah bonus pidana kalau ada yang menuntut. 😆

Biasanya, konten yang menakjubkan (awe) adalah pilihan yang lebih aman untuk dijadikan viral.

 


Kesimpulannya …

Manusia gak bisa lepas dari yang namanya emosi dan terhubung satu sama lain. Untuk meningkatkan customer lifetime value dalam pemasaran adalah menjadi ‘fully connected’ dengan para pelanggan.

Caranya? Mainkan emosi mereka.

 

Terimakasih udah baca artikel agak panjang ini. Mudah – mudahan menambah wawasan dan kemampuan lu dalam berbisnis, khususnya di dunia online (media sosial).

1 klik share dari lu akan sangat bermanfaat untuk perkembangan website ini.

 

GABUNG-BRO+

No Comments

Post A Comment